86NEWS.CO – Sikap dan kebencian dari oknum yang mengatasnamakan kelompok ummat keagamaan untuk membenturkan, menjauhkan bahkan membenci dan mencacimaki Habaib bukan kali ini terjadi.
Namun 30 tahun yang lalu pun bangsa ini sempat mengalami hal serupa walaupun dalam design kontruksi yang berbeda tapi tujuannya sama yakni agar ummat Islam Indonesia tidak mengakui Habaib sebagai keturunan Rasulullah SAW.
Pada tahun 1993, Ketua MUI saat itu KH. Hasan Basri (1920–1998) mengeluarkan pernyataan kontroversial di harian Terbit yang menyebutkan bahwa, “Tidak ada anak keturunan Rasulullah SAW di Indonesia bahkan di dunia, karena sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”
Pernyataan ini menimbulkan kegaduhan dan penolakan luas dari kalangan ulama serta habaib. Salah satu yang merespons dengan serius adalah Habib Al Habsy (Kwitang), yang kemudian memberi mandat kepada Habib Nauval bin Jindan untuk membela kehormatan keturunan Rasulullah SAW.
Dalam situasi tersebut, Gus Dur yang saat itu hadir di Ponpes Al-Fachriyah, Ciledug, sekitar tahun 1994, tampil memberikan pembelaan tegas kepada para habaib. Ia menyatakan:
“Bahwa kedatangan habaib di negeri ini adalah salah satu karunia Tuhan bagi Indonesia, maka perlu kita syukuri bersama.”
Pernyataan Gus Dur menjadi penegas bahwa keberadaan habaib di Indonesia bukan hanya sah secara historis dan spiritual, tetapi juga merupakan berkah yang harus dihargai oleh umat Islam di Tanah Air.
Sejak itu, polemik dan gejolak yang sempat meluas dapat diredam. Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya memang mencintai habaib, karena hal tersebut sejalan dengan ajaran sang kakek, pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari, yang menekankan pentingnya menghormati keturunan Nabi Muhammad SAW.
Memang tak dipungkiri bahwa Gus Dur sempat berbeda pendapat dengan beberapa Habaib termasuk Habib Rizieq Syihab, tapi itu perkara politik dan tidak pernah melunturkan kecintaan Gus Dur terhadap kemuliaan nasab para Habaib. Gus Dur bersahabat dengan banyak Habaib antara lain Habib Abubakar Alatas Azzabidi dan lainnya.
Sikap Gus Dur tersebut terus dikenang hingga kini sebagai bukti cinta dan penghormatannya kepada dzurriyyah Nabi, serta peran aktifnya dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia. Bahkan dalam humor yang menjadi ciri khasnya, Gus Dur mengibaratkan NU dengan Habaib ini bagaikan Adzan dengan Beduk dalam arti tak bisa terpisahkan.
Tulisan ini penulis berharap ummat Islam senantiasa memegang prinsip Islam Rahmatan Lil’alamin dan memegang teguh ukhuwah Islamiyah serta menjauhkan diri dari sikap dan prilaku kebencian, fitnah apalagi tindakan-tindakan tak beradab dan tak bermoral serta radikal.
Rahayu
Oleh : Kang Oos Supyadin SE MM, salah satu tim pendiri Forum Silaturahim Assatiidz Garut (FORSIAGA)