Kubur Bukan Pasar, Menolak Kios di Pelataran TPU Banjar Kubur Sibuhuan

Berita, Uncategorized954 Dilihat
banner 468x60

Palas, 86News.co – Salah seorang warga kelurahan pasar sibuhuan terkait Kubur, bukan pasar, menolak kios di pelataran TPU Banjar kubur Sibuhuan.

Di tanah yang sunyi itu, di antara batu nisan dan doa yang berbisik pelan, bersemayamlah para ulama besar, KH. Ahmad Dahlan Hasibuan dan Syekh Mukhtar Muda Nasution.

banner 336x280

Namun bukan hanya mereka, di dalam kompleks TPU Banjar Kubur Sibuhuan terbaring pula ratusan tokoh, orang tua, dan masyarakat biasa yang telah kembali ke haribaan Ilahi.

Tempat ini telah menjadi ruang suci bagi ribuan peziarah, terutama menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya, ketika arus manusia datang silih berganti, membawa bunga, doa, dan air mata.

Maka tidakkah hati kita terguncang ketika mendengar kabar bahwa di pelataran makam itu, tanah yang mestinya dijaga dengan hormat, akan didirikan kios buah?
Apakah tak ada lagi sejengkal tanah di Sibuhuan yang lebih pantas untuk mencari rezeki, selain di halaman orang-orang yang telah wafat?

Kubur adalah tempat tafakur, tempat manusia menundukkan kepala dan mengingat bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara. Di sana, setiap batu nisan berbicara tanpa suara, “Engkau pun akan menyusul.”

Namun, ketika pelataran makam diubah menjadi tempat jual beli, suasana zikir berganti dengan hiruk-pikuk transaksi. Kesunyian yang dulu membangkitkan kesadaran kini terseret dalam riuh tawar-menawar. Bau tanah basah bercampur aroma buah matang, dan doa-doa tenggelam di tengah teriakan harga.

Inilah saat ketika spiritualitas dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Kubur kehilangan suaranya. Yang tersisa hanyalah kebisingan dunia yang menutupi keheningan akhirat.

Kubur adalah lambang kesetaraan. Di bawah tanah itu, pejabat dan rakyat, kaya dan miskin, semuanya tidur dalam kedamaian yang sama. Tak ada lagi gelar, tak ada lagi jabatan. Tetapi ketika pelataran makam dijadikan pasar, simbol kesetaraan itu tercabik.

Di mana dulu ziarah menjadi ajang menundukkan hati, kini terancam berubah menjadi tempat mencari laba. Timbangan diletakkan di samping batu nisan, dan uang receh berpindah tangan di bawah bayang doa.

Apakah pantas manusia mencari untung di atas tanah tempat ribuan jasad beristirahat?
Apakah pantas kesucian disandingkan dengan urusan dagang yang fana?

Langkah seperti ini bukan hanya mengoyak moral sosial, tetapi juga menimbulkan keresahan di hati keluarga ahli kubur dan masyarakat religius yang masih menjaga adab terhadap tanah leluhur.

Dalam tradisi Islam Nusantara, ziarah ke makam ulama dan leluhur adalah bagian dari pendidikan rohani. Di sana, manusia belajar menundukkan ego, menyadari batas diri, dan mengingat kematian sebagai guru paling jujur.

Namun, ketika pelataran makam dijadikan tempat jual beli, adab itu hilang.
Ziarah berubah rupa, dari perjalanan batin menjadi lalu-lalang dagang. Orang yang datang bukan lagi menatap tanah dengan hormat, tapi menatap dagangan dengan nafsu.

Ulama bukan penjaga kios, dan makam bukan pasar.
Ketika kita menukar karomah dengan keuntungan, saat itulah adab kita gugur bersama nurani.

Ratusan makam dan ribuan peziarah yang datang setiap tahun layak mendapatkan suasana khusyuk, bukan pemandangan dagang yang mencederai rasa hormat.

Pemerintah Kabupaten Padang Lawas tak boleh berpura-pura tuli terhadap keresahan ini. Memberikan izin usaha di area pelataran kubur berarti menyentuh wilayah sakral umat tanpa rasa hormat. Itu bukan sekadar persoalan tata ruang, tetapi pengkhianatan terhadap nilai religius masyarakat.

Kebijakan seperti ini menunjukkan kerapuhan moral birokrasi, seolah ruang spiritual boleh ditukar dengan kepentingan ekonomi sesaat.

Dan ulama, jangan diam. Suara kalian lebih dibutuhkan dari sebelumnya. Jangan segan menegur pejabat. Jangan biarkan kesucian makam para guru kalian dinodai. Sebab jika ulama bungkam, umat pun akan kehilangan arah.

TPU Banjar Kubur Sibuhuan bukan sekadar tanah pemakaman, ia adalah cermin akhirat. Di sana, manusia melihat bayangan masa depannya sendiri. Setiap nisan adalah pengingat, setiap doa adalah pengakuan, dan setiap peziarah datang membawa harapan akan rahmat Tuhan.

Bila tempat seperti ini diubah menjadi ruang dagang, maka hilanglah makna ziarah, lenyaplah kekhusyukan, dan padamlah nilai spiritual masyarakat.

Jangan jadikan kubur pasar.
Jangan tukar keheningan dengan keramaian.
Sebab ketika manusia mulai berdagang di halaman kematian, maka yang mati bukan hanya jasad di bawah tanah, tetapi juga nurani mereka yang masih hidup.

(Siregar)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *