Kota Bekasi, 86News.co – Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi menggelar sidang kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan agenda pembacaan Pledoi untuk 3 terdakwa dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dua terdakwa dalam kasus investasi EDC Cash, Senin (21/10/2024).
Dalam sidang yang berlangsung di Ruang Sari 1, Kuasa Hukum Terdakwa Dohar Jani Simbolon, S.H., M.H., menyatakan belum siap untuk membacakan Pledoi atau Pembelaan untuk terdakwa Asep, Rokip dan Jati Bayu Aji.
“Kami belum siap yang mulia untuk membacakan pledoi, kami minta waktu dua minggu untuk mempersiapkan nota pembelaan kami, ” ucap Dohar.
Ketua Majelis Hakim, DR. Istiqomah Bahrawi, SH.MH akhirnya menerima permohonan kuasa hukum tiga terdakwa Asep, Rokip dan Jati Bayu Aji dan memberikan kesempatan lagi pada 4 November 2024 mendatang.
Sementara kata Dohar, untuk tuntutan hukuman yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Abdurrahman Yusuf selama 12 tahun penjara dan Suryani selama 15 tahun penjara dinilai tidak memperhatikan dan mengabaikan hal – hal yang meringankan para terdakwa dan tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP).
Dohar menekankan bahwa tuntutan JPU terhadap kliennya tidak mencerminkan pertimbangan yang seharusnya diberikan.
“Kita juga kecewa karena pertimbangan yang meringankan itu tidak ada. Kami sudah berdamai, tetapi itu tidak dipertimbangkan,” ungkapnya dengan nada menyesal.
Menurutnya, banyak faktor yang seharusnya dapat meringankan hukuman bagi kliennya, namun justru diabaikan oleh pihak JPU.
Di dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 36 Tahun 2011, kata Dohar, Jaksa diharuskan untuk memperhatikan keadaan masyarakat dan bagaimana hubungan antara korban dan terdakwa.
“Korban sudah berdamai dengan para terdakwa. Akta Van Dading sudah mendapatkan putusan Inchrah, kenapa ini tidak dilihat oleh JPU?” tanyanya.
Dohar juga menilai bahwa tuntutan JPU 12 tahun untuk terdakwa Abdurrahman Yusuf dan Suryani dituntut 15 tahun, dianggap JPU tidak memiliki hati nurani dalam menjalankan tugasnya.
“Karena tuntutan yang diberikan tidak mencerminkan keadilan. Ini harusnya ada SOP nya yang mengatur pelaksanaan hukum acara pidana. Di mana letak keadilan dalam tuntutan ini?” tegasnya.
Masalah barang bukti yang tersimpan di Rumah Penampungan Barang Sitaan Negara (Rupbasan), Dohar menjelaskan bahwa terdapat aset yang telah dirampas dan ada pula yang berada di rekening penampungan Kejaksaan.
Ia menunjukkan kebingungannya terkait tindakan Jaksa yang menyerahkan aset sitaan terdakwa ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Padahal kata Dohar, sebelumnya ketika saksi dari LPSK diminta keterangannya oleh majelis hakim, saksi LPSK mengatakan bahwa jika ada suatu paguyuban resmi yang dibentuk para korban maka aset sitaan para terdakwa bisa diberikan ke Paguyuban sebagai ganti rugi untuk para korban.
“Sementara dalam proses sidang ini paguyuban para korban adalah Paguyuban Mitra Bahagia Berkah Bersama yang seharusnya menerima aset sitaan para terdakwa sebagai hak ganti rugi, lalu kenapa JPU menyebutkan LPSK, ” kata Dohar heran.
“Apakah mereka (JPU) mau lepas tangan? Kita akan bongkar rekayasa ini dalam pembelaan kami,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan konsistensi JPU dalam dakwaan dan penuntutan, mengingat total kerugian yang disebutkan dalam dakwaan, nilainya juga telah di appraisal oleh Bareskrim.
“Kenapa Jaksa merubah isi dakwaan setelah tahapan persidangan dakwaan sudah disampaikan di Pengadilan? Harusnya itu sudah final,” jelasnya.
Dohar berharap agar Hakim PN Kota Bekasi dapat memeriksa berkas perkara dengan adil dan mempertimbangkan semua aspek, termasuk perdamaian yang telah dicapai.
“Kami berharap terdakwa dihukum se fair mungkin, karena terdakwa sudah koperatif dan terbuka soal aset mereka. Untuk itu terdakwa bisa dibebaskan, itu lebih baik. Ada dasar hukum yang jelas untuk itu,” tutupnya.
Dohar dkk berharap proses hukum selanjutnya para terdakwa mendapatkan keadilan yang seimbanh serta mengingatkan semua pihak akan pentingnya memperhatikan SOP dalam setiap tuntutan yang diajukan. (Red/sf)